Analisis Wacana Kritis
a. Pengertian
Michael Stubbs dalam Slembrouck
(Slembrouck, 2006) menyatakan bahwa
wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi
perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language
system) yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi
perhatian pada hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi
perhatian terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari.
Slembrouck juga menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak memandang
secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya dapat dijadikan
objek pemeriksaan analisis wacana.
Crystal dan Cook dalam Nunan
(Nunan, 1993) mendefinisikan wacana sebagai unit bahasa lebih besar daripada
kalimat, sering berupa satuan yang runtut/koheren dan memiliki tujuan dan
konteks tertentu, seperti ceramah agama, argumen, lelucon atau cerita. Nunan
melihat unsur-unsur keruntutan dan koherensi sebagai hal yang penting untuk
menilai sebuah wacana. Sementara Lubis (Lubis,1994) mendefinisikan wacana
sebagai 'kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau
dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda.
Berkembangnya studi wacana
atau analisis wacana dalam ranah linguistik ini merupakan bentuk ketidakpuasan
terhadap mazhab linguistik formal struktural yang cenderung lebih terpaku pada
sistem kebahasaan terhadap unit mikro seperti imbuhan, kata, frasa, klausa dan
kalimat, dan kurang peduli terhadap penggunan bahasa (language use).
Padahal makna sering tidak bisa dipahami secara komprehensif dalam kata, klausa
atau kalimat yang terpilah dari konteksnya. Makna sering harus dilihat dalam
unit yang lebih besar dan luas seperti percakapan, dan harus mempertimbangkan
konteks.
Istilah wacana yang
digunakan dalam Critical Discourse Analysis (CDA) yang dikembangkan para
ahli linguistik sosial seperti Norman Fairclough, Teun van Dijk, Ruth Wodak
memiliki pemahaman yang berbeda dari pemahaman di atas. Dalam konteks ini
wacana dimaknai sebagai pernyataan-pernyataan yang tidak hanya mencerminkan
atau merepresentasikan melainkan juga menkonstruksi dan membentuk entitas dan
relasi sosial.
Dalam studi ideologi dan
relasi kekuasaan kita sering harus mempersoalkan wacana yang berkembang agar
dapat memahami ideologi tersebut secara maksimal. Menurut Van Dijk (Dijk,2000)
ideologi membawa pengaruh terhadap wacana, dan wacana berperan penting dalam
pembentukan ideologi. Pemahaman terhadap ideologi dengan demikian harus
disertai dengan pemahaman terhadap wacana seperti apa yang telah berperan dalam
membangun ideologi tersebut.
Kata kritis (critical)
dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan. Pengertian kritis di sini
bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan
keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut
Wodak hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan
melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau
penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna
refleksi diri melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan
ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang.
Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif
(Wodak, 2007).
b. Metodologi
Analisis wacana merupakan
teori atau metode analisis yang banyak menggunakan teknik interpretasi. Pada
tingkat lanjut interpretasi yang dilakukan mengacu pada model dekonstruksi yang
dikembangkan Derrida, yakni model pembacaan yang yang dilakukan guna
menunjukkan apa yang terkubur atau tersembunyi di balik ujaran. Karena bersifat
interpretatif maka reliabilitas dan validitas analisis sering dipertanyakan.
Tetapi reliablilitas dan validitas ini bisa dipertanggungjawabkan melalui
logika dan rasional dari argumen-argumen yang dihasilkan. Dengan kata lain
validitas penelitian tergantung pada kualitas logika analisis serta kualitas
retorik dari argumen yang digunakan peneliti dalam membahas data.
CDA juga bersifat
eksplanatif atau menjelaskan bukan sekadar deskriptif, sehingga peneliti tidak
boleh terjebak dalam analisis yang bersifat superficial atau kulitan.
Antaki et al memerinci beberapa kelemahan metodologis CDA yang sering
ditemukannya dalam laporan hasil penelitian atau tulisan dalam jurnal ilmiah.
Di antara kelemahan-kelemahan metodologis tersebut adalah perancuan antara
analisis wacana dengan peringkasan atau deskripsi wacana, minimnya penjelasan
terhadap kutipan wawancara, dan keberpihakan dalam melakukan analisis.
c. Tujuan
Melalui CDA peneliti dapat mengajak masyarakat untuk
melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis dan epistemologis
tentang hal-hal yang diproblematisasikan.
Agenda utama CDA adalah
mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan,
direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks
sosial dan politis. Dengan demikian CDA mengambil posisi non-konformis atau
melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan sosial.
Fairclough dan Wodak (Fairclough & Wodak, 1997:
270) mengidentifikasi karakteristik CDA
sebagai berikut:
-
Memberi perhatian pada masalah-masalah sosial;
-
Percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif,
atau mengada dalam wacana;
-
Percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan
masyarakat dan budaya;
-
Percaya bahwa wacana berperan dalam membangun
ideologi;
-
Percaya bahwa wacana bersifat historis;
-
Memediasikan hubungan antara teks dan masyarakat
siosial;
-
Bersifat interpretatif dan eksplanatif;
-
Percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi
sosial.
Melalui CDA, peneliti berusaha mengungkap motivasi dan
politik yang berada di balik argumen-argumen yang membela atau menentang suatu
metode, pengetahuan, nilai, atau ajaran tertentu. Melalui upaya-upaya itu CDA
berkeinginan untuk membangun informasi dan kesadaran yang lebih baik akan
kualitas atau keterbatasan dari masing-masing metode, pengetahuan, nilai, atau
ajaran tersebut.