Sabtu, 21 April 2012

Ilmu yang Mendasari Ilmu Komunikasi

ILMU YANG MENDASARI ILMU KOMUNIKASI

oleh: Eka Lasmawati (FIKOM)

          Ilmu Komunikasi dikategorikan sebagai ilmu sosial terapan. Ilmu komunikasi pada saat ini semakin berkembang. Padahal sebelumnya ilmu komunikasi masih terikat erat pada ilmu sosial murni. Dapat dikatakan ilmu komunikasi pada saat itu belum menemukan bentuknya. Adanya ilmu komunikasi tidak terlepas dari ilmu-ilmu lainnya yang memberi kontribusi untuk lahirnya ilmu komunikasi.
          Ilmu Komunikasi adalah ilmu yang besifat interdisipliner dan multidisipliner. Dikatakan interdisipliner karena ilmu komunikasi memanfaatkan ilmu-ilmu lain yang berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial ( Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Politik, Ekonomi ).
Selain itu ilmu komunikasi juga dikatakan multidisipliner karena ia memanfaatkan ilmu-ilmu lain diluar rumpun ilmu-ilmu sosial.
          Berikut  ini adalah ilmu-ilmu yang mendasari atau melatar belakangi lahirnya ilmu komunikasi:
1.    Filsafat
          Jika ilmu komunikasi di ibaratkan sebuah pohon ia tumbuh dari “biji buah” pohon filsafat. Pohon filsafat merupakan pohon dari mana semua ilmu berasal, hal itu membuat filsafat sebagai “ibu segala ilmu” (Poedjawijatna, 1983; keraf, 2001). Sebagai pohon ilmu, filsafat memiliki dua cabang utama yang membentuk rumpunnya masing-masing, yakni rumpun ilmu-ilmu alam atau eksakta dan rumpun ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam mempelajari berbagai zat dan benda alam, sedangkan ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia dalam konteks hubungannya dengan manusia lain.
          Menurut Aristoteles (384-322 SM), seorang filsafat yunani kuno dalam bukunya Rhetorica menyebut bahwa suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukungnnya, yaitu siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan. Ia mendukung proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika.

2.    Sosiologi
          Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan interaksi antara sesama manusia serta mempelajari manusia dalam konteks organisasi sosial masyarakat. Sosiologi merupakan induk dari ilmu komunikasi.
Tokoh sosiologi yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah:
·      Charles H. Cooley (1864-1920)
          Cooley  melihat bahwa proses komunikasi antar pribadi merupakan basis sosialisasi dari studi sosiologi.
·      Robert E. Park (1864-1944)
          Robert adalah ahli sosiologi dan filsafat. Ia menjadi sarjana pada 1887, dan menjadi wartawan selama 11 tahun. Selama karier kewartawanannya, ia menganalisis perilaku penyimpangan pada masyarakat miskin di kota. Ia melihat bagaimana tipe jurnalistik memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial. Perhatiannya sangat besar terhadap peranan berita dalam membentuk pendapat umum. Hal itu mendorongnya mengambil program master pada bidang filsafat di Harvard University dan melanjutkan program doktornya di University of Berlin. Kemudian ia kembali ke Amerika, ia menjadi petugas Public Relations untuk Congo Reform Association. Pada 1914, ia menjadi staf pengajar di University of Chicago dan memberi perhatian mendalam pada riset terhadap isu-isu yang menjadi prioritas penerbitan surat kabar yang kemudian dikenal sebagai studi Agenda Setting.
·      Prof. David K. Berlo (1929)
          Berlo menyebut secara ringkas bahwa komunikasi sebagai instrumen dari interaksi sosial dan berguna untuk mengetahui serta memprediksi sikap orang lain.
          Berlo membuat formula komunikasi dengan nama “SMCR”, yaitu Source (pengirim/sumber), Message (pesan), Channel (saluran/media), dan Receiver (penerima).
·      Everett M. Rogers (1931-2004)
          Rogers  meraih gelar master di lowa University dan melanjutkan studinya di bidang sosiologi. Meraih doktor pada 1957, saat Scramm meluluskan doktor angkatan pertama di bidang ilmu komunikasi. Disertasi rogers membicarakan difusi inovasi pada masyarakatpedesaan lowa. Pada 1964, ketika pindah ke Michigan University, Rogers bersama David K. Borlo doktor komunikasi angkatan pertama yang diluluskan Schramm 1957, membina jurusan ilmu komunikasi.
          Rogers menilai peristiwa berkomunikasi secara lisan sebagai generasi pertama kecakapan manusia berkomunikasi sebelum mampu mengutarakan pikiran secara tertulis (1986) .

3.    Psikologi
          Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dalam konteks kejiwaan dan tingkah laku.
Tokoh psikologi yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah :
·      John Dewey (1859–1952)
          Dewey adalah ahli psikologi dan filsafat. Ia juga sebagai pengajar dan peneliti di University of Michigan (1884–1894). Dewey mengiginkan adanya surat kabar sebagai alat perubahan sosial. Walaupun surat kabar yang di inginkan Dewey semasa hidupnya tidak terwujud, tetapi ia telah memberikan kontribusi terhadap lahirnya surat kabar sebagai media komunikasi untuk membawa reformasi sosial.
·      George H. Mead  (1863–1931)
          Mead adalah ahli psikologi dan filsafat. Mead banyak terpenagruh oleh pemikiran Dewey dan Cooley yang menempatkan komunikasi sebagai basis sosialisasi. Melalui pendekatan ilmu jiwa sosial, Mead mengakui komunikasi sebagai hal yang paling mendasar bagi hubungan antarmanusia.
·      Kurt Lewin (1890-1947)
          Lewin adalah ilmuwan jerman keturunan Yahudi, ia mengajar di Universitas Berlin. Lewin terpengaruh pemikiran Freud, dengan menggunakan studi eksperimen banyak mengkaji dinamika kelompok dalam hubungannya dengan komunikasi. Ia juga menaruh perhatian terhadap studi gatekeeping tentang pengendalian arus informasi melalui saluran komunikasi hingga akhir hayatnya.
·      Carl I. Hovland (1912-1961)
          Ketika PD II meletus, ia dipanggil kantor penerangan AS untuk mempelajari pengaruh film terhadap moral tentara. Ia mengkaji pengaruh film dari segi kredibilitas sumber, penyajian pesan dalam satu sisi (one-side) atau dua sisi (two-side), aspek kekuatan dan efeknya terhadap tentara. Eksperimen Hovland banyak memberi manfaat dalam studi komunikasi persuasif (perubahan situasi).
          Proses komunikasi menurut Hovland adalah “Tranmisi pesan (stimulan) dari komunikator kepada komunikan dengan maksud memodifikasi si komunikan”. Dari definisi ini kita ketahui bahwa rangkaian gambar hasil shooting seorang kamerawan nantinya harus mampu “ memodifikasi” si komunikan. Artinya si komunikan yang tadinya dalam posisi netral (keadaan sebelum menyaksikan gambar-gambar shoot kamerawan), ketika kemudian ditranmisikan rangkaian gambar kepadanya, maka si komunikan tadi posisinya menjadi berubah, bisa ke arah negatif atau positif. Dalam hal ini, yang menjadi seorang komunikator adalah kamerawan.

4.    Antropologi
          Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam konteks budaya. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai,  dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
          Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang mengirim pesan, makna yang dia miliki untuk pesan, kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.
          Manusia berkomunikasi tidak dengan kata-kata saja, nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung makna. Budaya juga merupakan pengetahuan yang dapat dikomunikasikan.
          Edward Burnett Tylor (1832–1917) adalah bapak Antropologi yang mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan kompleks, yang meliputi pengetahuan, keppercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaaan yang lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat.

5.    Politik
     Politik adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam konteks kekuasaan dan sistem pemerintahan.
Tokoh yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah:
·      Harold Dwight Laswell (1902-1978)
          Laswell adalah ahli politik. Di usia 16 tahun ia menjadi mahasiswa University of Chicago. Ia banyak terpengaruh oleh pemikiran John Dewey, George Mead, dan Robert Park. Kontribusi Laswell dalam ilmu komunikasi banyak ditemukan dalam bukunya Propaganda and Communicationin World History (1948) , yang memuat riset komunikasi massa: “who, says what, in which channel, with what effect?” (“Siapa yang berbicara, menggunakan saluran apa, dan apa efeknya?”).
          Model Laswell memberi perhatian pada pengaruh komunikasi. Perhatiannya terjadi ketika Adolph Hitler dan Winston Churchill memberi pengaruh kuat ketika berpidato baik langsung maupun menggunakan radio. Bukan hal yang mengherankan bahwa sebagai seorang ahli politik, Lasswell tertarik pada efek komunikasi yang dihasilkan oleh kedua orator ulung tersebut, karena keduanya memberikan efek yang luar biasa kepada para audience-nya.
          Lasswell tidak pernah menyebut dirinya sebagai ilmuwan komunikasi, tetapi kita berhutang pada Lasswell karena pemikiran dan tulisannya banyak dijadikan rujukandalam kajian ilmu komunikasi.
Lasswell mengusulkan tiga fungsi dari media komunikasi yaitu
a.    Menyediakan informasi tentang lingkungan, yang menurut istilah Lasswell disebut dengan surveilance (pengamatan).
b.    Menyajikan opsi untuk memecahkan masalah, yang disebutnya dengan correlations.
c.    Sosialisasi dan pendidikan yang merujuk pada tranmisi.

6.    Ekonomi
          Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan atas barang dan jasa.
Tokoh ekonomi yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah:
·      Stoner dan Wankel
          Menurut pendapat mereka komunikasi yang efektif adalah penting bagi para manajer karena dua alasan yaitu:
a.    Komunikasi merupakan proses yang digunakan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen.
b.    Komunikasi merupakan kegiatan untuk manajer meluangkan sebagian besar waktunya.
·      William B. Weither dan Keith Davids
“ Organisasi tidak dapat berdiri tanpa komunikasi ”.
·      Burt Scanlan dan J. Bernard Keys
          Komunikasi mempunyai peranan yang penting dalam menentukan betapa efektifnya orang-orang bekerja sama dan mengkoordinasikan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan.
·      Sharma (1979)
Mengemukakan empat alasan mengapa komunikasi ke atas terlihat amat sulit :
a.    Kecenderungan bagi pegawai untuk mmenyembunyikan pikiran mereka.
b.    Perasaan bahwa penyelia dan manjer tidak tertarik pada masalah pegawai.
c.    Kurangnya penghargaan bagi komunikasi yang dilakukan pegawai.
d.   Perasaan bahwa penyelia dan manajer tidak dapat dihubungi dan tidak tanggap pada apa yaang disampaikan pegawai.
7.    Matematika
Tokoh yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah:
·      Nobert Weiner  (1894-1964)
          Weiner meraih gelar doktor pada umur 19 tahun. Pada 1919 ia menjadi profesor matematika di MIT. Ia juga tertarik mempelajari fisika, jaringan syaraf dan kedokteran jiwa. Ketika Perang Dunia II pecah, Weiner  mengembangkan teori Cybernetics.
          Dalam proyek itu ia bekerja sama dengan Warren Weaver serta John Neuman dari Princeton University, yang telah mencetuskan komputer pertama ENIAC. Weiner meninggal pada 1964, ia mewarisi teori Cybernetics yang membahas tentang kelanjutan arus informasi dilihat dari segi recording, encoding, storage, tranmisi dan diseminasi antara satu sistem dengan sistem lainnya.
·      Paul Felix Lazarsfeld  (1901-1976)
          Lazarfeld meraih gelar doktor ilmu matematika dari University of Viena, Austria pada 1920. Pada 1939, ia masuk ke Columbia University, New York, sebagai profesor soaiologi. Seperti halnya Lewin, Lazarfeld terpengaruh oleh pemikiran Freud yang menyebabkannya tertarik melakukan studi terhadap sumber-sumber perilaku.
          Ketika itu, radio menjadi kehidupan utama masyarakat Amerika dan ia aktif melakukan riset di bidang khalayak dan efek dengan metode survei dan interview. Kegiatan ini memberi kontribusi terhadap ilmu komunikasi dan menjadikan riset di bidang komunikasi sebagai usaha yang melembaga. Ia memformulasi teori komunikasi dua langkah (two-step-flow), bahwa pengaruh media sangat kecil terhadap perilaku pemilihan dibanding dengan saluran antar pribadi yang mengandalkan peran pemuka pendapat (opinion leader). Opinion leader adalah orang yang di akui kelompoknya dalam masyarakat sebagai pemimpin informal.
·      Claude E. Shannon (1916-2001)
          Shannon adalah ahli matematika dan elektronika. Ia meraih gelar sarjana muda di Michigan dan meraih doktor di MIT. Kontribusi Shannon terhadap ilmu komunikasi adalah tulisannya yang membicarakan teori informasi. Bersama Weaver ia mengembangkan The Mathematical theory of communication, memperkenalkan model komunikasi yang dilukiskan secara visual.

8.    Kesusastraan
Tokoh kesusastraan yang memberi kontribusi pada ilmu komunikasi adalah:
·      Wilbur Schramm (1907
·      -1987)
          Schramm memperoleh gelar master di Harvard University dan doktor bidang kesusastraan Amerika dari University of  Iowa. Ia mengajar mata kuliah creative writing. Ketika PD II pecah, ia bekerja dikantor penerangan angkatan perang AS, dimana ia bertemu Lasswell. Empat tahun kemudian, ia pindah ke University of  Ilionis, mendirikan lembaga pendidikan dan riset komunikasi. Disini Schrammpertama kali menerima mahasiswa program doktor dalam bidang komunikasi pada 1950. Ia mengabdi pada bidang komunikasi hingga akhir hayatnya. Schramm adalah orang pertama yang menjalin bidang-bidang ilmu sosial seperti psikologi sosial, antropologi, ilmu ekonomi, dan politik untuk pengembangan ilmu komunikasi.
          Schramm menyebut komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, dan tanpa masyarakat tidak mungkin manusia dapat mengembangkan komunikasi.

9.    Biologi
          Teori dasar biologi menyebut adanya 2 kebutuhan yakni kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

            Keterlibatan berbagai disiplin ilmu tersebut dimaknai oleh Fisher (1986) bahwa ilmu komunikasi mencakup semua dan bersifat sangat eklektif (menggabungkan berbagai bidang). Eklektisme dari ilmu komunikasi sebagai suatu bidang studi memang telah membawa hikmah tersendiri, yaitu melahirkan beragam teori-teori komunikasi maupun konsep-konsep tentang komunikasi.
            Fisher (1986) merangkum konsep-konsep komunikasi dalam empat perspektif, yaitu: Mekanistis; Psikologi; Intereksional; Pragmatis. Pengaruh konsep-konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif mekanistis.


Daftar Pustaka

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu komunikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000.
Moekijat. Teori Komunikasi. CV Mandar Maju. Bandung. 1993.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Antarbudaya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 1998.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Organisasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 1998.

Komunikasi Semiotika

Komunikasi Semiotika
oleh: Eka Lasmawati (FIKOM)

A. Definisi Komunikasi Semiotika
            Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani yaitu Semion yang berarti tanda. Tanda diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Contoh: asap bertanda api.
            Secara terminologis, semiotika adalah ilmu yang mempelajari sederet peristiwa yang terjadi diseluruh dunia sebagai tanda.
            Beberapa ahli memberikan perbedaan yang kuat antara tanda dan simbol. Tanda dalam realitasnya memiliki referensi yang jelas tentang sesuatu, sedangkan simbol tidak. Para ahli lain melihatnya sebagai tingkat-tingkat istilah yang berbeda dalam katagori yang sama.
            Semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan dengan bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal. Kebanyakan melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti muncul dari hubungan diantara tiga hal : benda (atau yang dituju), manusia (penafsir), dan tanda.
            Charles saunders Peirce, ahli semiotik modern pertama, dapat dikatakan pula sebagai pelopor ide ini. Pierce mendefinisikan semiotik sebagai hubungan diantara tanda, benda dan arti.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
            Tanda tersebut merepresentasikan benda atau yang ditunjuk di dalam pikiran si penafsir.
            Tradisi Semiotika itu sendiri terbagi atas tiga variasi, yaitu:
·        Semantik (bahasa), merujuk pada bagaimana hubungan antara tanda dengan objeknya atau tentang keberadaan dari tanda itu sendiri.
·        Sintaktik, yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem yg lebih besar (kompleks). Sintaktik memungkinkan manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan arti atau makna.
·        Paradigmatik, yaitu melihat bagaimana sebuah tanda membedakan antara satu manusia dengan yang lain atau sebuah tanda bisa saja dimaknai berbeda oleh masing-masing orang sesuai dengan latar belakang budayanya.
Menurut Ferdinand De Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Keunggulan semiotika terletak pada ide-ide tentang kebutuhan akan bahasa umum dan identifikasinya tentang subjektifitas sebagai penghalang untuk memahami. Selain itu, juga kesepakatan yang multi makna dari simbol-simbol teori semiotika sering berseberangan dengan teori-teori yang menyarankan bahwa kata-kata tersebut memiliki makna benar, tanda-tanda yang menunjukkan objek yang ada dan akhirnya dikatakan bahwa bahasa itu netral.

B. Teori Komunikasi Semiotika
1)  Teori Simbol
            Teori simbol yang terkemuka dan bermanfaat diciptakan oleh Susanne Langer, penulis Philosopy in a New Key. Teori Simbol sangat bermanfaat karena teori ini menegaskan beberapa konsep dan istilah yang biasa digunakan dalam bidang komunikasi. Teori ini memberikan sejenis standarisasi untuk tradisi semiotik dalam kajian komunikasi.
            Langer, seorang filsuf, memikirkan simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan, tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol dan bahasa. Binatang merespon tanda, tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan mempergunakan simbol. Tanda adalah sebuah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebaliknya simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat seseorang untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya.
            Sebuah simbol adalah “sebuah instrumen pemikiran”. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, sebuah simbol ada untuk sesuatu. Contoh tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara langsung.
            Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer, konsep adalah makna yang disepakati bersama-sama diantara pelaku komunikasi. Bersama makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif.
            Penggunaan simbol pada manusia dirumitkan oleh fakta bahwa tidak ada hubungan langsung simbol dan objek sebenarnya. Bahkan, lebih dirumitkan lagi adalah fakta bahwa kita menggunakan simbol dalam kombinasi. Signifikansi sebenarnya adalah dari bahasa adalah wacana, yang didalamnya menghubungkan kata-kata menjadi kalimat dan paragraf. Wacana mengekspresikan proposisi, dimana simbol-simbol kompleks yang menghadirkan sebuah gambaran dari sesuatu.
            Dengan bahasa, kita berpikir, merasa, dan berkomunikasi. Langer menyebut hal ini dengan simbolisme tidak berhubungan (discursive symbolism). Langer juga membahas kepentingan simbol non-diskrusif atau presentasional. Peristiwa yang paling penting bagi manusia adalah emosional dan paling baik dikomunikasikan melalui ibadah, seni, musik.
            Asumsi dasar teori ini adalah bahwa simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, dan sebuah simbol ada untuk sesuatu.

2)  Teori Grammatology
Jacques Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified).
Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hierarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Misalnya: sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.
Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.
Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Asumsi dasar Teori Gramatology adalah bahwa konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain.

3)  Teori Kode
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda.
Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”.
Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979).
Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama).
Di dalam kehidupan manusia banyak ditemukan penggunaan kode-kode sebagai perwujudan suatu makna tertentu. Salah satunya adalah budaya, budaya dapat dianggap sebagai kumpulan kode yang membentuk tingkah laku manusia, menjadi bermacam tingkatan dan cara, tergantung pada lingkungan.
Asumsi dasar teori ini adalah kode digunakan untuk menentukan seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan), serta perwujudan dari makna tertentu.
Ada 2 arti dari istilah “kode”. Pertama, kode menunjukkan bentuk status yang sistematis, aturan, dan sebagainya. Kedua, kode menyangkut suatu ide rahasia, satu set bentuk, huruf, atau simbol yang mengaburkan arti, dan dapat dipecahkan bila diketahui penyusunan pokok kode tersebut. Jika kedua aspek tersebut dikombinasikan (sistematis dan rahasia), maka kode tersebut kemudian dikenali sebagai kode kultur (culture code), yaitu mengarah dalam budaya yang tidak dikenal tetapi mempunyai struktur jelas dan spesifik.
Pierre Guiraud mengemukakan 3 jenis kode, yaitu kode sosial, kode estetika, dan kode logika. Kode sosial berkaitan dengan hubungan pria-wanita, dan mencakup wilayah identitas dan tingkatan, aturan tingkah laku, mode, dan sebagainya. Kode estetika berkaitan dengan seni dan bagaimana menginterpretasi dan mengevaluasi seni. Sedangkan kode logika mencakup usaha kita untuk membuat sadar akan dunia dan pengetahuan ilmiah, dan sistem komunikasi tanpa bahasa (Berger, 2005). Kode ilmiah (logika) cenderung statis, kode estetika dan sosial terus mengalami perubahan (dinamis). Dalam membahas suatu hasil karya arsitektur, pembacaan kode menggunakan batasan kode teknik, kode sintagmatik, dan kode semantik (Yusita Kusumarini,2006).

Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi Antarbudaya
oleh: Eka Lasmawati (FIKOM)

A.  Definisi Komunikasi Antarbudaya
Budaya (culture) dapat disebut sebagai “komunitas makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal” (gonzalez, houston, dan chen, 2004).
Komunikasi antar budaya merujuk pada komunikasi antar individu-individu yang latar belakang budayanya berbeda.
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Intercultural communication, A reader menyatakan bahwa: komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial.
Samovar dengan porter menyatakan komunikasi antar budaya terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
Charley H. Dood menyatakan bahwa komunikasi antar budaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Komunikasi antar budaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interprelatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang kaarena memiliki perbedaan derajat kepentingan, memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentukperilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan ( Lustig dan Koester, 1993).
“Intercultural communication” yang disingkat “ICC” mengartikan komunikasi antar budaya sebagai interaksi antar pribadi, antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda.
Guo Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya, komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
·           Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antar budaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol,) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak dengan sendirinya mempunyai makna, tetapi dia dapat berarti dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan
·           Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi , sebuah keputusan dibuat untuk berpartissipasi dalam proses pemberian makana yang sama.
·           Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita
·           Menunjukan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakannya dari kelompok lain.
Setelah pengertian komunikasi antar budaya di atas dapat disimpulkan bahwa proses  komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.


B. Teori Komunikasi Antarbudaya
1)  Genderlect Styles Theory (Teori Gaya Genderlect)
Genderlect Style Theory merupakan bagian dari teori komunikasi antar budaya, dimana melihat perbedaan gaya berbicara antara laki-laki dengan perempuan di dalam realitas sosial.
Teori Genderlect Styles dikemukakan oleh Deborah Tannent. Seorang profesor linguistik yang terkemuka di Georgetown University di Washington DC, Amerika Serikat. Ia  mendeskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas,sementara laki-laki pada status dan kemandiriannya.
Menurut Deborah Tannen, teori ini menekankan berbagai cara di mana pria dan wanita berkomunikasi. Tannen melihat perbedaan-perbedaan dari linguistik dan bukan sudut pandang psikologis. Gaya yang berbeda dari komunikasi dapat dilihat sebagai dua dialek budaya yang berbeda daripada cara inferior atau superior berbicara.
Teori Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.
            Asumsi dari teori ini adalah adanya perbedaan gaya antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada status dan kemandiriannya.
Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:
·           Kecenderungan feminis vs maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan.
·           Perempuan berhasrat pada koneksi vs laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
·           Raport talk vs report talkPerbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, . Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut:
a.       Publik speaking vs private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan.
b.      Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan, khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.
c.       Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, bergumam sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu, sebagai upaya menjaga statusnya.
d.       Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
e.       Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya.

2)  Face Negotiation Theory (Teori Negosiasi Wajah)
Teori Negosiasi Wajah dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda.
Wajah mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain wajah merupakan gambaran yang diinginkan seseorang atau jati diri orang lain yang berasal dari seseorang dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun, melindungi dan mengancam wajah orang lain.
Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori ini memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey, pencetus teori ini berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.
Teori negosiasi wajah adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “wajah” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Wajah merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, wajah  telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.
Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada wajah dan  facework. Wajah merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Wajah juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina wajah dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri.
Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan wajah dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa wajah (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan wajah sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah “muka tebal”, “muka tembok”, jaim (jaga image), wajah cemberut, wajah kusut, dan lain sebagainya.
Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman wajah. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan wajah positif dan kebutuhan wajah negatif.  Wajah positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan wajah negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang.
Ketika wajah positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan wajah mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai  facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan wajah seseorang dan orang lainnya.
Asumsi dasar Teori Negosiasi Wajah  mencakup komponen-komponen penting dari teori ini yaitu wajah, konflik, dan budaya.
·           Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter seseorang.
·           Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak wajah sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang.
·           Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap wajah. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam wajah bersifat wajah positif maupun wajah negatif dari para partisipan.

3)  Anxiety Uncertainty Management Theory
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Asumsi dasar dari teori ini adalah dalam proses komunikasi, semakin tinggi ketidakpastian seseorang maka akan semakin rendah keberhasilan komunikasi yang hendak dilakukannya. Dengan bahasa yang lain, proses komunikasi dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian sehingga tujuan komunikasi tercapai. Gudykunst menggunakan konsep ’uncertainty’ untuk memprediksi perilaku orang lain dan konsep ’anxiety’ untuk menjelaskan proses penyesuaian budaya.


Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
·           Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
·           Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
·           Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
·           Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
·           Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
·           Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.

LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER (SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL)

PERTEMUAN KEDUA SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL  SMKN 1 CARIU Tahun Ajaran 2020/2021 "LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER"...