Selasa, 31 Maret 2015

Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Historis


Pengertian Sistem Politik Indonesia

Sistem politik adalah "sistem pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat" atau "sistem pengalokasian nilai-nilai kemasyarakatan dengan secara sah kepada masyarakat". Kehidupan politik dapat dilibatkan dengan melihat segi-seginya satu persatu, seperti menyelidiki berfungsinya lembaga-lembaga politik (partai politik, kelompok kepentingan, pemerintahan, dan voting), juga mempelajari sifat-sifat dan akibat-akibat dari praktek-praktek politik (propaganda, manipulasi, kekerasan), atau juga meneliti struktur tempat terjadinya praktek-praktek seperti tersebut di atas (Mohtar Mas'oed dalam Sarsito, 2011: 4-5).
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan negara dengan negara. Sedangkan menurut Rusadi Kartaprawira, sistem politik adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng.
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Dalam penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.
Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sedangkan infrastruktur politik adalah badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya, tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
Di Indonesia, sistem politik yang dianut adalah sistem politik demokrasi pancasila yakni sistem politik yang didasarkan pada nilai-nilai luhur, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Adapun prinsip-prinsip sistem politik demokrasi di Indonesia antara lain:
1.      Pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif  berada pada badan yang berbeda.
2.      Negara berdasarkan atas hukum.
3.      Pemerintah berdasarkan konstitusi.
4.      Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu.
5.      Pemerintahan mayoritas.
6.      Pemilu yang bebas.
7.      Parpol lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya.
Sebagai suatu sistem, prinsip-prinsip ini saling berhubungan satu sama lain. Sistem politik demokrasi akan rusak jika salah satu komponen tidak berjalan atau ditiadakan. Contohnya, suatu negara sulit disebut demokrasi apabila hanya ada satu partai politik. Dengan satu partai, rakyat tidak ada pilihan lain sehingga tidak ada pengakuan akan kebebasan rakyat dalam berserikat, berkumpul dan mengemukakan pilihannya secara bebas. Dengan demikian berjalannya satu prinsip demokrasi akan berpengaruh pada prinsip lainnya.


Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Historis

2.2.1         Sistem Politik Pada Masa Orde Lama
Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Lama yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Landasan kepemimpinan Soekarno dibangun atas dasar nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam dirinya telah menanamkan rasa persatuan dan cinta Tanah Air sekaligus menjadikan dirinya menjadi proklamator dan presiden pertama Indonesia, sementara ideologi Marxisme yang dikembangkannya membuat dirinya memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet dan menanamkan jiwa anti hegemoni dan imperialisme Barat.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Pelaksanaan sistem politik pada masa pemerintahan orde lama diantaranya adalah:
1.      Masa 1945-1950
Gagasan mendominasi pemikiran para pemimpin bangsa pada awal kemerdekan Indonesia pada tahun 1945, sepanjang menyangkut peranan negara dan peranan masyarakat adalah gagasan pluralisme, ini bisa disimpulkan dari usul-usul serta dukungan atas usul-usul itu di dalam BPUPKI menjelang kemerdekaan. Tampaknya sejak semula kecenderungan untuk lebih memberikan porsi yang lebih besar bagi peranan rakyat lebih mendapat tempat di kalangan pemimpin dan masyarakat Indonesia. Pernyataan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana telah tertuang di dalam konstitusi, serta pernyataan bahwa pemerintah (cq. Presiden) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada MPR dapat dianggap sebagai gambaran tentang pemberian posisi penting bagi peranan rakyat ini pada waktu itu (Mahfud MD dalam Lesmana, 2013).
Dalam masa ini Indonesia menggunakan tiga sistem pemerintahan dalam rentan waktu kurang lebih 6 tahun yang digunakan antara lain:
a.       Undang-undang Dasar 1945.
b.      Konstitusi RIS 1949, dan
c.       UUDS 1950.
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
1)    Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
2)      Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
2.      Masa 1950-1959 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Periode kedua pemerintahan Negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959 dengan menggunakan Undang-undang dasar sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pemerintah ini disebut sebagai pemerintah parlementer, karena pada masa ini merupakan kejayaan perlemen dalam sejarah politik Indonesia (representative/Participatory Democracy).
Masa 1950-1959 ialah masa dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak itu, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Ciri-cirinya antara lain:
a.          Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.         Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.          Presiden berhak membubarkan DPR.
d.         Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Dualisme pemerintahan yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia sendiri) mengakibatkan rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah Belanda agar bisa terus mengontrol Indonesia. RIS sendiri terdiri dari lima belas negara bagian buatan Belanda, yang telah didudukinya selama tiga tahun. Menurut Hatta, bangsa Indonesia tidak mempunyai kedaulatan penuh jika masih melakukan kompromi dengan Belanda soal sistem pemerintahan. Sebagian besar pemimpin Indonesia sepakat bahwa kompromi dengan pihak belanda bertolak belakang dengan cita-cita proklamasi. Karena itu, kompromi tersebut sebenarnya adalah strategi untuk lepas dari rongrongan Belanda yang menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karena dalam pandangan Hatta, bentuk negara federal RIS tidak akan bersifat permanen karena bentuk yang sesungguhnya akan ditentukan konstituante hasil pemilihan umum. Konstituante itu pulalah yang nantinya bertugas menyusun konstitusi baru.
Namun ini berakibat fatal, tawaran sistem parlementer ternyata mengakibat semrawutnya pemerintahan karena elemen-elemen pemerintahan merasa mempunyai andil untuk mengatur Negara sehingga menjadi tidak jelas “siapa mengatur siapa”. Pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan menjadi tonggak demokrasi sebenarnya salah satu pemicu peralihan demokrasi menjadi ultra demokrasi yang menjurus anarkisme. Pluralitas dan multi-partai demokrasi parlementer berujung pada pertarungan ideologis partai yang sangat berpengaruh di Indonesia. Pada waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yakni Islam, Nasionalis dan Sosialis. PKI yang sebelumnya runtuh akibat pemberontakan Madiun 1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi dengan pihak nasionalis untuk menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan mendirikan Negara Islam. Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga membias pada elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan. DPR dan Konstituante yang dilahirkan setelah pemilu 1955,  juga membuat keadaan internal pemerintahan semakin buruk. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, inflasi ekonomi dan masa depan Indonesia menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan dekrit presiden dan menyatakan Konstituante dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan lagi. Inilah awal kehancuran demokrasi parlementer di bumi pertiwi dan bermulanya sistem demokrasi terpimpin.
Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1)              1950-1951 - Kabinet Natsir
2)              1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
3)              1952-1953 - Kabinet Wilopo
4)              1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5)              1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
6)              1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
7)              1957-1959 - Kabinet Djuanda


 Sistem Politik Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni- Juli 1966. Diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
A.    Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945  pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
B.     Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik.Pada tanggal 20 Februari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.


 Sistem Politik Pada Masa Reformasi
Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah sehari sebelumnya terjadi gelombang demonstrasi besar – besaran yang menuntutnya mundur. Ini tentunya menandai runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru dan dimulainya suatu masa yang disebut Reformasi. Hadirnya Reformasi kemudian diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik itu yang positif maupun yang negatif. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah represifitas pemerintah sudah dapat dikurangi, hak dan kebebasan politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sudah dikembalikan, dan yang lebih penting lagi adalah proses demokrasi yang kembali tumbuh dan berjalan.
Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten.
Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.
Adanya jaminan hak dan kebebasan masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat kemudian menjadi alat untuk melegitimasi lahirnya berbagai lembaga, buku-buku, aksi-aksi unjuk rasa, dan sebagainya. Partai politik pun tumbuh subur di Indonesia, bahkan dengan berbagai basis ideologi dan varian yang berbeda. Hal yang tentu bertolak belakang dengan asas tunggal yang diterapkan selama masa pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter.
Bahkan menurut Thaha (2004), Partai politik, terutama setelah tumbangnya era Orde Baru, tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 ratusan partai politik didirikan, tapi yang boleh ikut Pemilu hanya 48 partai. Pada Pemilu 2004 ini, juga bermunculan ratusan partai politik, tapi yang lolos verifikasi hanya 24 partai, separuh dari tahun 1999. Realitas ini menandakan bahwa nafsu dan feeling berpolitik bangsa Indonesia sangat tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Lesmana, Andi. 2013. Politik Hukum Era Pemerintah Orde Lama. Universitas Syiah Kuala.
Junaidi. 2008. Pergeseran Peran partai Politik Pasca Putusan MK Nomor:22-24/PUU-VI/2008. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.2 No.2.
Maf’ul, Arsyad M. 2010. Partai Politik Pada Masa Orde baru dan Orde Lama. Supremasi, Vol. V No. 2.
Sarsito, Totok. 2011. Sistem Politik Indonesia I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Thaha, Idris. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
http://elearning.stia-naganraya.ac.id/download.php?id_file=SistemPerpec3964b8e0.pdf&id=15, diakses 29 Maret 2015.
https://www.academia.edu/9504611/MAKALAH, diakses 29 Maret 2015.



LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER (SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL)

PERTEMUAN KEDUA SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL  SMKN 1 CARIU Tahun Ajaran 2020/2021 "LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER"...