Pengertian Sistem Politik Indonesia
Sistem politik adalah
"sistem pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat" atau
"sistem pengalokasian nilai-nilai kemasyarakatan dengan secara sah kepada
masyarakat". Kehidupan politik dapat dilibatkan dengan melihat
segi-seginya satu persatu, seperti menyelidiki berfungsinya lembaga-lembaga
politik (partai politik, kelompok kepentingan, pemerintahan, dan voting), juga
mempelajari sifat-sifat dan akibat-akibat dari praktek-praktek politik (propaganda,
manipulasi, kekerasan), atau juga meneliti struktur tempat terjadinya
praktek-praktek seperti tersebut di atas (Mohtar Mas'oed dalam Sarsito, 2011:
4-5).
Menurut
Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang
membentuk satu
kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan
dengan cara mengatur individu atau kelompok individu
satu sama lain atau dengan negara dan hubungan negara dengan negara. Sedangkan menurut Rusadi Kartaprawira, sistem politik
adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur
politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang
langggeng.
Sistem
politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi
dan penyusunan skala prioritasnya.
Dalam penyusunan keputusan-keputusan
kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya
kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga
memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.
Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur
politik adalah lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia
diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang
akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sedangkan infrastruktur politik
adalah badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa,
Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group),
Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata
politik lainnya, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan
aspirasinya, tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan
keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan keputusan yang
dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
Di Indonesia, sistem politik yang dianut adalah
sistem politik demokrasi pancasila yakni sistem politik yang didasarkan pada
nilai-nilai luhur, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Adapun
prinsip-prinsip sistem politik demokrasi di Indonesia antara lain:
1. Pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif berada pada badan yang
berbeda.
2. Negara berdasarkan atas hukum.
3. Pemerintah berdasarkan konstitusi.
4. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam
batas-batas tertentu.
5. Pemerintahan mayoritas.
6. Pemilu yang bebas.
7. Parpol lebih dari satu dan mampu melaksanakan
fungsinya.
Sebagai
suatu sistem, prinsip-prinsip ini saling berhubungan satu sama lain. Sistem
politik demokrasi akan rusak jika salah satu komponen tidak berjalan atau
ditiadakan. Contohnya, suatu negara sulit disebut demokrasi apabila hanya ada
satu partai politik. Dengan satu partai, rakyat tidak ada pilihan lain sehingga
tidak ada pengakuan akan kebebasan rakyat dalam berserikat, berkumpul dan
mengemukakan pilihannya secara bebas. Dengan demikian berjalannya satu prinsip
demokrasi akan berpengaruh pada prinsip lainnya.
Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Historis
2.2.1 Sistem Politik Pada
Masa Orde Lama
Orde lama adalah sebutan bagi orde
pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya
Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai
tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia
bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia
mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan
ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah
disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak
pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai
titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Lama yang merupakan koreksi
total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat
kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan
ideoligi sosialisme komunisme.
Landasan kepemimpinan Soekarno dibangun
atas dasar nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam
dirinya telah menanamkan rasa persatuan dan cinta Tanah Air sekaligus
menjadikan dirinya menjadi proklamator dan presiden pertama Indonesia,
sementara ideologi Marxisme yang dikembangkannya membuat dirinya memiliki
hubungan dekat dengan Uni Soviet dan menanamkan jiwa anti hegemoni dan
imperialisme Barat.
Guna menjalankan politik luar negeri yang
bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai
negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita
Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro
(Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Pelaksanaan
sistem politik pada masa pemerintahan orde lama diantaranya adalah:
1.
Masa 1945-1950
Gagasan mendominasi pemikiran
para pemimpin bangsa pada awal kemerdekan Indonesia pada tahun 1945, sepanjang
menyangkut peranan negara dan peranan masyarakat adalah gagasan pluralisme, ini
bisa disimpulkan dari usul-usul serta dukungan atas usul-usul itu di dalam
BPUPKI menjelang kemerdekaan. Tampaknya sejak semula kecenderungan untuk lebih
memberikan porsi yang lebih besar bagi peranan rakyat lebih mendapat tempat di
kalangan pemimpin dan masyarakat Indonesia. Pernyataan konsep kedaulatan rakyat
sebagaimana telah tertuang di dalam konstitusi, serta pernyataan bahwa
pemerintah (cq. Presiden) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada MPR dapat
dianggap sebagai gambaran tentang pemberian posisi penting bagi peranan rakyat
ini pada waktu itu (Mahfud MD dalam Lesmana, 2013).
Dalam masa ini Indonesia
menggunakan tiga sistem pemerintahan dalam rentan waktu kurang lebih 6 tahun
yang digunakan antara lain:
a.
Undang-undang Dasar 1945.
b.
Konstitusi RIS 1949, dan
c.
UUDS 1950.
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara
lain:
1) Berubah fungsi komite
nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
2)
Terjadinya perubahan
sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP –
KNIP.
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari presidensil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem
pemerintahan presidensil, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan
eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
2.
Masa 1950-1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Periode kedua pemerintahan Negara
Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959 dengan menggunakan Undang-undang dasar
sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pemerintah ini disebut
sebagai pemerintah parlementer, karena pada masa ini merupakan kejayaan
perlemen dalam sejarah politik Indonesia (representative/Participatory
Democracy).
Masa 1950-1959 ialah masa dimana presiden Soekarno
memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar,
pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara
Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan
perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak itu, Negara Indonesia diperintah
dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang
menganut sistem kabinet parlementer. Ciri-cirinya antara lain:
a.
Presiden
dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.
Menteri
bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.
Presiden
berhak membubarkan DPR.
d.
Perdana
Menteri diangkat oleh Presiden.
Dualisme pemerintahan yang terjadi di
Indonesia setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia sendiri)
mengakibatkan rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan
Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah
Belanda agar bisa terus mengontrol Indonesia. RIS sendiri terdiri dari lima
belas negara bagian buatan Belanda, yang telah didudukinya selama tiga tahun.
Menurut Hatta, bangsa Indonesia tidak mempunyai kedaulatan penuh jika masih
melakukan kompromi dengan Belanda soal sistem pemerintahan. Sebagian besar
pemimpin Indonesia sepakat bahwa kompromi dengan pihak belanda bertolak
belakang dengan cita-cita proklamasi. Karena itu, kompromi tersebut sebenarnya
adalah strategi untuk lepas dari rongrongan Belanda yang menolak proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Karena dalam pandangan Hatta, bentuk negara federal RIS
tidak akan bersifat permanen karena bentuk yang sesungguhnya akan ditentukan
konstituante hasil pemilihan umum. Konstituante itu pulalah yang nantinya
bertugas menyusun konstitusi baru.
Namun ini berakibat fatal, tawaran sistem
parlementer ternyata mengakibat semrawutnya pemerintahan karena elemen-elemen
pemerintahan merasa mempunyai andil untuk mengatur Negara sehingga menjadi
tidak jelas “siapa mengatur siapa”. Pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan
menjadi tonggak demokrasi sebenarnya salah satu pemicu peralihan demokrasi
menjadi ultra demokrasi yang menjurus anarkisme. Pluralitas dan multi-partai
demokrasi parlementer berujung pada pertarungan ideologis partai yang sangat
berpengaruh di Indonesia. Pada waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan
menjadi tiga bagian, yakni Islam, Nasionalis dan Sosialis. PKI yang sebelumnya
runtuh akibat pemberontakan Madiun 1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi
dengan pihak nasionalis untuk menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan
mendirikan Negara Islam. Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga
membias pada elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan. DPR dan
Konstituante yang dilahirkan setelah pemilu 1955, juga membuat keadaan internal pemerintahan
semakin buruk. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat,
inflasi ekonomi dan masa depan Indonesia menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal
5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan dekrit presiden dan menyatakan Konstituante
dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan lagi. Inilah awal kehancuran demokrasi
parlementer di bumi pertiwi dan bermulanya sistem demokrasi terpimpin.
Dewan Konstituante diserahi tugas membuat
undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.Namun sampai tahun 1959
badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno
menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5
Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak
pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada
7 kabinet pada masa ini.
1)
1950-1951 -
Kabinet Natsir
2)
1951-1952 -
Kabinet Sukiman-Suwirjo
3)
1952-1953 -
Kabinet Wilopo
4)
1953-1955 -
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5)
1955-1956 -
Kabinet Burhanuddin Harahap
6)
1956-1957 -
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
7)
1957-1959 -
Kabinet Djuanda
Sistem Politik Pada
Masa Orde Baru (1966-1998)
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari
Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut
untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto
untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan
melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang
MPRS yang berlangsung pada Juni- Juli 1966. Diantara ketetapan yang dihasilkan
sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut
ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
A.
Pertama
berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama.
B.
Sedangkan
konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Pada tahun 1968, MPR secara
resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia
kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan
kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan
PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Dalam masa Orde
Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada
tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha
pembinaan terhadap partai-partai politik.Pada tanggal 20
Februari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan
ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum
tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai
Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung
dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI,
Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya
pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai
dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan
yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI
dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970
terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang
terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta
ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah
satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut
Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap
parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah
perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga
masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977terdapat 3
kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada
masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2
parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh
penguasa saat itu.
Sistem Politik Pada
Masa Reformasi
Mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah sehari sebelumnya terjadi gelombang
demonstrasi besar – besaran yang menuntutnya mundur. Ini tentunya menandai
runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru dan dimulainya suatu masa yang disebut
Reformasi. Hadirnya Reformasi kemudian diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik
itu yang positif maupun yang negatif. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah
represifitas pemerintah sudah dapat dikurangi, hak dan kebebasan politik
masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sudah dikembalikan,
dan yang lebih penting lagi adalah proses demokrasi yang kembali tumbuh dan berjalan.
Era reformasi muncul sebagai
gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek
kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan
orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik
memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran partai sebagai
wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini
belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih
diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat
dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama
dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun
rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas
sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum
terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.
Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara
transparan dan konsisten.
Distorsi atas aspirasi,
kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik,
baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara,
pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi
pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya
menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul
kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih
banyak bersifat kontekstual.
Adanya jaminan hak dan
kebebasan masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat kemudian
menjadi alat untuk melegitimasi lahirnya berbagai lembaga, buku-buku, aksi-aksi
unjuk rasa, dan sebagainya. Partai politik pun tumbuh subur di Indonesia,
bahkan dengan berbagai basis ideologi dan varian yang berbeda. Hal yang tentu
bertolak belakang dengan asas tunggal yang diterapkan selama masa pemerintahan rezim
Orde Baru yang otoriter.
Bahkan menurut Thaha (2004),
Partai politik, terutama setelah tumbangnya era Orde Baru, tumbuh bagaikan
jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 ratusan partai politik didirikan, tapi
yang boleh ikut Pemilu hanya 48 partai. Pada Pemilu 2004 ini, juga bermunculan
ratusan partai politik, tapi yang lolos verifikasi hanya 24 partai, separuh
dari tahun 1999. Realitas ini menandakan bahwa nafsu dan feeling berpolitik bangsa
Indonesia sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Lesmana, Andi.
2013. Politik Hukum Era Pemerintah Orde Lama. Universitas Syiah Kuala.
Junaidi. 2008. Pergeseran
Peran partai Politik Pasca Putusan MK Nomor:22-24/PUU-VI/2008. Jurnal Ilmu
Hukum. Vol.2 No.2.
Maf’ul, Arsyad
M. 2010. Partai Politik Pada Masa Orde baru dan Orde Lama. Supremasi,
Vol. V No. 2.
Sarsito, Totok.
2011. Sistem Politik Indonesia I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Thaha, Idris. 2004. Pergulatan Partai Politik di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
http://elearning.stia-naganraya.ac.id/download.php?id_file=SistemPerpec3964b8e0.pdf&id=15,
diakses 29 Maret 2015.
https://www.academia.edu/9504611/MAKALAH,
diakses 29 Maret 2015.