Definisi
Audience
Asal
historis audience telah memainkan peran yang besar dalam pembentukan berbagai penerapan
konsep audience. Semula audience adalah kumpulan penonton drama, permainan dan
tontonan, yaitu penonton pertunjukan hal yang telah mengambil berbagai bentuk
yang tidak serupa dalam peradaban dan tahapan sejarah yang berbeda. Terdapat
dari keanekaragaman itu, beberapa ciri penting dari audience peran media telah
ada sejak dan masih membentuk pemahaman kita.
Konsep
Alternatif tentang audience menurut
Dennis McQuail (1987)
1.
Audience
sebagai massa
Audience sebagai massa
bahwa pandangan tentang audience ini menekankan ukurannya yang besar
heterogenitas, penyebaran dan anonimitasnya serta lemahnya organisasi sosial
dan komposisinya yang berubah dengan cepat dan tidak konsisten. Massa tidak memiliki keberadaan (eksistensi) yang
berlanjut kecuali dalam pikiran mereka yang ingin memperoleh perhatian dari dan
memanipulasi orang-orang sebanyak mungkin. Hal itu mengakibatkan standar untuk
memutuskan audience semakin mendekati pengertian massa.
2.
Audience
sebagai publik atau kelompok sosial
Unsur penting dalam
versi audience sebagai publik atau kelompok sosial adalah pra eksistensi dari
kelompok sosial yang aktif, interaktif dan sebagian besar otonom yang dilayani
media tertentu tetapi keberadaannya tidak bergantung pada media. Gagasan tentang
publik setelah dibahas melalui sosisologi dan teori demokrasi liberal.
3.
Audience
sebagai kumpulan penonton, pembaca, pendengar, dan pemirsa
Kumpulan inilah yang
disebut sebgai audience dalam bentuknya yang paling dikenali dan versi yang
diterapkan dalam hampir seluruh penelitian media itu sendiri. Fokusnya pada
jumlah-jumlah total orang yang dapat dijangkau oleh satuan isi media tertentu
dan jumlah orang dalam karakteristik demografi tertentu yang penting bagi
pengirim.
2
4.
Audience
sebagai pasar
Audiensi sebagai pasar
adalah perkembangan ekonomi pada abad terakhir yang perkembangnnya diikuti oleh
perkembangan kebudayaan dan perkembangan politik sesuai konsep tentang publik.
Produk media merupakan komoditi atau jasa yang ditawarkan untuk dijual kepada
konsumen tertentu yang potensial, yang bersaing dengan produk media lainnya.
Teori
Audience
Media dan audience ada
dua versi pengertian audience. Banyak ahli menganggapnya sama pengertiannya
dengan massa secara beranekaragam dalam jumlah besar. Ada juga yang melihat
sebagai kelompok-kelompok kecil atau komunitas kecil. Pengertian yang pertama (keanekaragam
kelompok massa) melihat audience sebagai populasi yang besar jumlahnya dan bisa
dibentuk oleh media. Sedangkan yang terakhir (komunitas kecil kelompok), audience
dipandang sebagai anggota dalam kelompok-kelompok kecil yang berbeda-beda, yang
sebagian besar bisa dipengaruhi oleh kelompoknya. Dunia perpustakaan menganggap
audience sebagai pengguna informasi dan sumber-sumber informasi. Pengguna di
sini masih dibedakan antara pengguna aktual dan pengguna potensial. Yang
pertama adalah mereka yang sudah memanfaatkan jasa layanan perpustakaan apapun
bentuk layanannya, sedangkan yang kedua adalah mereka yang belum sempat datang
atau memanfaatkan jasa layanan perpustakaan dengan berbagai alasan. Kelompok
pengguna potensial ini juga disebut sebagai masyarakat luas, atau anggota
masyarakat luas. Audience pasif dan audience
aktif.
Audience pasif
Dalam teori peluru (Bullet Theory) atau Model Jarum
Hipodermis, audience dianggap pasif maksudnya adalah pengertian yang
menganggap bahwa masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh media. Mereka secara
pasif menerima apa yang disampaikan media. Mereka menerima secara langsung
apa-apa yang disampaikan oleh media atau dengan kata lain, Media of Power Full.
Audience
aktif
Uses and Gratification Theory, beranggapan bahwa audience
dianggap sebagai audience yang aktif dan diarahkan oleh tujuan. Audience sangat bertanggung jawab dalam memilih media
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam pandangan ini, media dianggap
sebagai satu-satunya faktor yang mendukung bagaimana kebutuhan
terpenuhi, dan audience dianggap sebagai perantara yang besar. Mereka tahu
kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut
atau dengan kata lain, mereka lebih selektif dalam menerima pesan-pesan media.
Mereka juga selektif dalam memilih dan menggunakan media.
Ciri-ciri audiens aktif bisa dilihat sifat-sifatnya
seperti berikut:
1. Selektifitas.
Audience lebih selektif dalam memilih dan
menggunakan media. Mereka tidak asal melihat, mendengar, atau membaca media
yang disajikan di depannya. Mereka memilih satu atau beberapa media yang
dianggapnya sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, anggota kelompok masyarakat
yang berpendidikan relatif tinggi, umumnya hanya membaca bahan bacaan atau
media tertentu saja yang ada kaitannya dengan pekerjaannya saja, dan jarang
sekali membaca media yang tidak relevan.
2. Utilitarianisme.
Audience aktif lebih banyak memilih media
yang dianggapnya bermanfaat bagi dirinya karena sesuai dengan tujuan
menggunakannya.
3. Intensionalitas.
Audience aktif lebih suka menggunakan media
karena isinya, bukan pertimbangan aspek luarnya.
4. Keterlibatan
atau usaha. Audience
secara aktif mengikuti dan memikirkan penggunaan media.
5. Tidak
mudah terpengaruh (impervious to influence). Audience tidak gampang dipengaruhi oleh
media yang digunakannya.
Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch (Baran dan Davis, 2000)
Uses and gratification
theory meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang
menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang
membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan
lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Untuk
memahami teori uses and gratification, menguraikan lima elemen atau
asumsi-asumsi dasar dari Teori Uses and Gratification sebagai berikut :
1)
Audience adalah
aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan,
2)
Inisiative yang
menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di
tangan audiens,
3)
Media bersaing
dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audience,
4)
Orang-orang
mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan
dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan
penggunaan itu,
5)
Nilai
pertimbangan seputar keperluan audience tentang media spesifik atau isi harus
dibentuk.
Teori Audience Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach (1988)
Ada beberapa teori massa audience dalam melihat
efek media massa ada dua catatan penting yang bisa dijadikan dasar, yakni
interaksi audience dan bagaimana tindakan terhadap isi media. Ada tiga teori
yang menjelaskan antara lain :
1. Individual Differences Perspective.
Perspektif
perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis
individu akan menentukan bagaimana individu memilih memilih stimuli dari
lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Berdasarkan
ide dasar dari stimulus-response,
perspektif ini beranggapan bahwa tidak ada audience yang relatif sama, makanya
pengaruh media massa pada masing-masing individu berbeda dan tergantung pada
kondisi psikologi individu itu yang berasal dari pengalaman masa lalunya.
Dengan
kata lain, masing-masing individu anggota audience bertindak menanggapi pesan
yang disiarkan media secara berbeda, hal ini menyebabkan mereka juga
menggunakan atau merespon pesan secara berbeda pula.
Dalam diri individu audience terdapat apa yang disebut konsep diri, konsep diri mempengaruhi
perilaku komunikasi kepada pesan apa yang bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan
itu, dan apa yang kita ingat. Dengan kata lain, konsep diri mempengaruhi
terpaan selektif, persepsi selektif, ingatan selektif.
2. Social Categories Perspective.
Perspektif
ini melihat di dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang
didasarkan pada karakteristik umum seperti jenis kelamin, umur, pendidikan,
pendapatan, keyakinan beragama, tempat tinggal, dan sebagainya. Masing-masing
kelompok sosial itu memberi kecenderungan anggota-anggotanya mempunyai kesamaan
norma sosial, nilai, dan sikap. Dari
kesamaan itu mereka akan mereaksi secara sama pada pesan khusus yang
diterimanya. Berdasarkan perspektif ini, pemilihan dan penafsiran isi oleh audience
dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma
kelompok sosial. Dalam konsep
audience sebagai pasar dan sebagai pembaca, perspektif ini melahirkan
segmentasi. Contoh: Anak-anak membaca Bobo, Yunior, Ananda. Ibu-ibu membaca
Kartini, Sarinah, Femina. Kaum Islam membaca Sabili, Hidayah.
3. Social Relation Perspective.
Didasarkan
pada penelitian Paul lazarfeld, Bernard Berelson, dan Elihi Kartz menyatakan
bahwa hubungan secara informal mempengaruhi audience dalam merespon pesan media
massa. Dampak komunikasi massa yang diberikan diubah secara signifikan oleh
individu-individu yang mempunyai kekuatan hubungan sosial dengan anggota
audience. Tentunya perspektif
ini eksis pada proses komunikasi massa dua tahap, dan atau multi tahap.
Herta Herzog, Paul Lazarsfeld dan Frank Stanton (Barran & Davis, 2003)
Sejarah penelitian/pembahasan mengenai audience telah
dimulai seiring dengan penelitian tentang efek komunikasi massa. Pada awalnya,
audience dianggap pasif (dalam teori peluru (Bullet Theory) atau Model Jarum Hipodermis). Namun pembahasan
audience secara intensif yang dimulai tahun 1940, memelopori mempelajari
aktifitas audience (yang kemudian melahirkan konsep audience aktif) dan
kepuasan audience
Misal, pada tahun 1942 Lazarfeld dan Stanton memproduksi
buku seri dengan perhatian pada bagaimana audience menggunakan media untuk
mengorganisir pengalaman dan kehidupan sehari-hari. Tahun
1944 Herzog menulis artikel Motivation
and Gratifications of Daily Serial Listener, yang merupakan publikasi
awal tentang penelitian kepuasan audience terhadap media.
Aktifitas audience merujuk pada pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
a. Sejauh mana selektivitas audience terhadap
pesan-pesan komunikasi,
b. Kadar dan jenis motivasi audience yang
menimbulkan penggunaan media,
c. Penolakan
terhadap pengaruh yang tidak diinginkan,
d.
Jenis & jumlah
tanggapan(response) yang
diajukan audience media (McQuail, 1987).
Pada waktu itu, aktivitas audience merupakan fokus
kajian uses and gratifications.
Secara umum, pandangan para peneliti dalam tradisi uses and gratifications media menganggap bahwa audience aktif
dalam hal kesukarelaan dan orientasi selektif dalam proses komunikasi massa.
Teori
jarum Hipodermik
Lasswell dan Lazarsfeld
memusatkan penelitian pada dampak media massa terhadap pembentukan ruang bagi
informasi publik dan perubahan sikap audience. Bukti-bukti penelitian mereka
dapat dilacak pada perpustakaan Universitas Yale. (Hovland, 1949). Riset
lazarfed akhirnya melahirkan teori yang paling banyak dikenal yakni hypodermic
needle theory atau yang disebut “teori peluru”.
Teori hypodermic
menjelaskan tentang kekuatan efek media massa terhadap perubahan sikap dan
perilaku audiens.
Pada tahun 1948,
Lazarsfeld dkk. Memperbaharui perspektif teori peluru dan mengubah pandangan
mereka dan mengatakan bahwa pengaruh media masssa ternyata tidak berdampak
langsung terrhadap audiens namun terlebih dahulu mempengaruhi para pemuka
pendapat, setelah itu para pemuka pendapat mempengaruhi perubahan sikap dan
perilaku audiens lewat interaksi tatap muka.
Dalam paradigma atau
perspektif mekanistis yang telah dijelaskan dimuka, komunikasi politik itu
berlangsung dalam sebuah proses seperti “ban berjalan” secara mekanis, dengan
unsur-unsur yang jelas, yaitu sumber (komunikator), pesan (komunikan), saluran
(media), penerima (khalayak), dan umpan balik (efek). Artinya sumber mengirim
pesan kepada penerima menerima saluran tertentu dan menimbulkan akibat atau
efek. Berdasarkan hukum peliput dapat dibuat prediksi yang bersyarat, yaitu
jika (ada pesan tertentu), maka akan ada efek tertentu (pada penerima). Itulah
sebabnya dalam model mekanistis, studi komunikasi politik di fokuskan pada
efek.
Berdasarkan paradigma
mekanistis dan unsur-unsur terkandung dalam proses komunikasi tersebut, secara
sederhana lasswell merumuskan dalam sebuah formula, “Siapa berkata apa, melalui
saluran apa, kepada siapa, dan bagaimana efeknya ? “
(who says what, in whic
chanel, whom with what efek ? ). Kemudian formula lasswell tersebut oleh nimmo (1999)
dijadikan sebagai dasar menganalisis komunikasi politik.
Selanjutnya, nimmo (1999)
menjelaskan bahwa proses komunikasi itu secara mekanistis adalah komunikator
politik (politisi aktifis atau profesional) menyampaikan pesan politik kepada
khlayak politik, melalui media politik. Dengan demikian akan timbul umpan balik
(feed back) atau efek politik misalnya pendapat umum, berupa dukungan atau penolakan atau
ragu-ragu. Paradigma atau model mekanistis tersebut menghasilkan dua asumsi
dasar.
1. Penerima
(komunikan) atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima pesan dari
komunikator. Artinya, komunikator dengan mudah mempengaruhi komunikan
(penerima), atau khalayak.
2. Media
massa sangat perkasa dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya, semua
pesan yang disalurkan oleh media massa dengan muadah mempengaruhi khalayak.
Bahkan, oleh McLuhan(1994) menyebut bahwa media itu sendiri adalah pesan (the
medium is the message). Khalayak yang tak berdaya itu, sering juga disebut
khalayak pasif.
Konsep khalayak tak berdaya atau khalayak pasif dan
asumsi media perkasa dari paradigma mekanistis itu, dengan mudah dikenal
melalui berbagai literatur yang memuat teori dasar dengan nama yang berbeda
seperti Hypodermic Needle theory (teori jarum hipodermik), dan the bullet
theory of communication (teori peluru). Banyak pakar yang mengembangkan teori
itu selama massa awal ilmu komunikasi, yang paling terkenal dan produktif
adalah Wilbur Schramm. Dalam bingkai teori dasar tersebut, Schramm juga
memprekenalkan konsep teori pembangunan (Communication of development), dan
Everett M. Rogers dan Shoemaker mengembangkan konsep komunikasi pembaharuan
(communication and inovation).
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik
(politisi, profesional dan aktifis) selalu memandang bahwa pesan politik apapun
yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti
menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan.
Itulah sebabnya kegiatan komunikasi politik banyak dilakukan melalui pidato
pada rapat umum atau melalui media massa.
Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena
efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, disamping daya tarik
isi, dan kreadibilitas komunikator. Bahkan, berbagai hasil penelitian,
membuktikan bahwa media massa memliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat
kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap
dan perilaku. Wilbur schrmm sendiri setelah 25 tahun mencetuskan teorinya
diatas, akhirnya menyanggah sendiri karena berdasar penelitian para pakar
psikolog dan sosisologi menemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif
dalam menerima pesan. Tiap-tiap individu ternyata sangat aktif dalam menyaring
dan menyeleksi dan bahkan memiliki daya tangkal atau daya serap terhadap semua
pengaruh yang berasal dari luar dirinya. Tiap-tiap individu tidak mengalami
pengaruh secara pasif, melainkan secara aktif. Jiwa individu sendiri memiliki
potensi dinamis dalam mewujudkan sikap atau kelakuannya.
Lyzen (1967) menyatakan bahwa manusia mempunyai watak dan
sifat tertentu yang menjadi senjata baginya terhadap pengaruh – pengaruh sosial
dari luar. Hampir tidak ada seorang pun yang mau menjadi bola permainan orang
lain belaka. Oleh karena itu, tiap-tiap individu juga sadar akan dirinya
sendiri, dan dari kesadaran itu ia hidup dan mengumpulkan kekuatan rohani untuk
bertindak sendiri.
Dengan demikan, asumsi bahwa khalayak pasif dan media
perkasa, tidak terbukti secara empirik. Meskipun demikian, “Teori Jarum
Hipodermik” atau “Teori Peluru”, tidak “Runtuh” sama sekali karena tetap dapat
di aplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efektivitas dalam komuniukasi
politik. Hal itu tergantung kepada sistem politik, sistem organisasi dan
situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam sistem politik yang otoriter,
dengan bentuk kegiatan seperti : Indokrinasi, perintah, intruksi, penugasan,
dan pengarahan. Itulah sebabnya dalam organisasi militer dan birokrasi,
penerapan teori itu tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang
efektif.
Di negara-negara demokrasi. ”Teori jarum hipodermik” atau
“teori peluru” dibangkitkan kembali dengan berkembangnya dengan “agenda
seting”. Model ini dimulai dengan asumsi, bahwa media massa menyaring berita,
artikel dan tulisan, yang disiarkan dan memusatkan perhatian kepada efek
kognitif khalayak. Sedangkan “Teori jarum hipodermik” atau “Teori peluru”
memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral. Teori atau (model
agenda setting) di perkenalkan oleh Maxwell E. Mc. Comb dan Donald L.Shaw
(1972), dalam usaha mengembangkan fungsi jaga gerbang (gattekepers) dari media
massa.
Pada dasarnya agenda setting disusun berdasarkan agenda
khalayak, yang didapat berdasarkan pengamatan maupun penelitian terhadap
khalayak. Justru itu, agenda media dan agenda khalayak harus berkaitan. Dalam
hal itu terlihat bahwa justru acara-acara media (agenda media) ditentukan oleh
agenda khalayak. Jadi agenda setting sesungguhnya dikembangkan sebagai upaya
memahami kehadiran teori khalayak kepala batu yang akan di uraikan kemudian.
Teori hipodermik atau teori peluru dan teori sabuk transmisi
selanjutnya oleh para pakar digambarkan juga dalam bentuk model. Itulah
sebabnya teori-teori tersebut dilukiskan sebagai model linier dalam komunikasi
politik yang berkembang dalam masyarakat, terutama yang menganut sistem politik
otoritareian. “Model linear” hanya berlangsung satu arah yaitu dari sumber
(komunikator) kepada penerima (khalayak). Hal itu ditemukan dalam paradigma
atau perspektif mekanistis.
Teori New
Media
Media
Konvensional dan Media Baru (Straubhaar,
2002).
Sejak lama
kita sudah mengenal media massa seperti televisi, radio, surat kabar, film,
majalah yang saat ini dikatakan sebagai media konvensional. Penggunaan istilah
media konvensional ini sebagai bentuk pembedaan dari media baru yang merupakan
konvergensi media konvensional, komputer dan telekomunikasi. Media baru
tersebut adalah internet. Mengacu pada Straubhaar (2002) media konvensional dan
media baru mempunyai perbedaan karakteristik.
Karakteristik
dari media konvensional secara umum, bahwa proses komunikasi (konvensional)
selalu berawal dari sumber (source)-yang mengirimkan pesan (message) melalui
media (channel) kepada penerima (receiver), atau SMCR model, dan komunikasi
dengan menggunakan media massa diartikan sebagai komunikasi dari satu sumber ke
komunikan banyak jumlahnya, namun feedback-nya masih bersifat tertunda,
menurunnya jumlah sumber dalam media massa, tidak berkuasa dan kemampuannya
sebagai gattekeepers maupun pembentuk opini publik jauh berkurang.
Informasi,
Teknologi Informasi dan Organisasi Media (Harrington
(1993)
Dalam
pandangan Harrington (1993), informasi dapat dimaknai dalam dua paradigma yang
dapat mempengaruhi sebuah organisasi. Pertama, dalam paradigma berdasar sumber
(resource-driven), pemahaman terhadap informasi lebih fokus pada kontinyuitas
dan konsistensi dari informasi itu sendiri. Kedua, dalam paradigma berdasar
persepsi (perception-driven), informasi dilihat sebagai sebuah konsep yang
abstrak, sebagai produk dari persepsi individual.
Ini
merupakan fenomena yang temporer dan hanya dimiliki oleh penerima informasi.
Paradigma yang digunakan oleh sebuah organisasi dalam memaknai informasi akan
berpengaruh terhadap desain dari organisasi mereka. Jika informasi dipahami
sebagai sebuah sumber daya (resource) daripada sebagai hasil dari sebuah
sistem, biasanya akan ada kontrol yang lebih tersentral, karena asumsinya
informasi merupakan bagian dari kekayaan organisasi (corporate property).
Dalam
kerangka paradigma ini, pandangan terhadap informasi diwarnai oleh
penggunaannya sebagai sumber. Seperti sumber daya lainnya, informasi dapat
disediakan pada waktu kapanpun dengan kepastian penerimaan sebuah nilai
perkiraan darinya. Informasi dikaitkan sebagai sesuatu yang tidak berubah,
karenanya dapat dengan mudah diakomodasi ke dalam prosedur formal dari sebuah
organisasi.
Teori
Ekonomi Politik Media (McQuail,
1991)
Dalam
melakukan kajian terhadap media massa sebagai industri, kita dapat melakukan
kajian berdasarkan teori ekonomi politik media. Berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari
sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Kualitas
pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat,
sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar berbagai ragam isi dalam
kondisi yang memaksakan perluasan pesan, dan juga ditentukan oleh kepentingan
ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan.
Pandangan Media
terhadap Audiensi (Burns)
Meskipun dalam pemikiran sederhana dan kenyataan
publik memang merupakan klien dan sumber pengaruh paling penting dalam
lingkungan setiap organisasi media, namun kebanyakan penelitian cenderung
menunjukan bahwa banyak komunikator massa tidak menganggap publik terlalu
penting walaupun pihak manajemen selalu mengikuti eratnya angka penjualan dan
tingkat penilaian publik. Para pelaksana media cenderung
menunjukkan “austim”
yang tinggi (keasyikan menilai diri sendiri), yang sejalan dengan sikap para
profesional lainnya dimana status mereka sangat tergantung pada pengetahuan
mereka yang lebih baik dari pengetahuan para kliennya tentang yang paling baik
bagi diri mereka. Burns memperluas perbandingan ini dengan pekerja di bidang
pelayanan yang biasanya memiliki sikap “memaksa, menyembunyikan, menentang dan
sikap bermusuhan yang menyakitkan hati.”
Altheide (1974) memberi komentar bahwa upaya
stasiun televisi untuk menjangkau khalayak luas yang ditelitinya ternyata
mengakibatkan timbulnya pandangan sinis tentang publik yang bodoh, tidak mampu,
dan tidak berharga. Elliot (1972) dan schlesinger (1978) menemukan keadaan yang sama pada
televisi inggris.
Penggunaan
Media Baru
Perlu kita
sadari bahwa tekhnologi media massa tampaknya mengundang hadirnya ancaman
tertentu, sebagaimana yang di kemukakan oleh para kritikus sosial. Apa yang
telah berubah atau sedang mengalami perubahan tidak terlepas dari
perkembangan teknologi dan kemungkinan terciptanya komunikasi yang lebih luas.
Media baru (telematik), yang telah disinggung sebelumnya memiliki beberapa kekhususan
yang diperkirakan oleh sebagian orang akan menimbulkan perubahan hebat dalam
dunia media elektronik, sebagaimana hebatnya perubahan yang pernah terjadi
dengan ditemukannya percetakan. Kekhususan tersebur meliputi:
·
Banyaknya
penawaran informasi dan budaya yang tersedia dengan harga murah.
·
Lebih
banyak pilihan nyata.
·
Kontrol
terhadap penerima/pemakai lebih sempurna
·
Desentralisasi
·
Kegiatan
timbal balik (interaktifitas), bukannya komunikasi satu arah.
Media baru tampaknya menawarkan kemungkinan terjadinya
pergeseran keseimbangan kekuasaan dari pengirim ke penerima, sehingga para
pemakai dan pemilih dapat memperoleh beraneka ragam pilihan isi, tanpa harus
tergantung pada sistem mediasi dan pengendalian komunikasi massa.
Segmentasi Audiensi
Segmentasai audiensi
(audience segmentation) adalah Sarana
lain untuk mengaplikasikan kelompok pada komunikasi massa. Teknik ini aslinya
dikembangkan oleh pemasang iklan, yang menyebutnya sebagai segmentasi pasar (market segmentation). Dengan melakukan segmentasi
pasar atau membaginya menjadi kelompok-kelompok pemasang iklan dapat
merencanakan strategi komunkasi yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok. Kelompok-kelompok yang
ditargetkan oleh pemasang iklan sering kali adalah kelompok-kelompok yang di
identifikasi dengan
gaya hidup. Keputusan penentuan acara telivisi juga sering dipengaruhi oleh
gagasan segmentasi audiensi. Apabila acara elevise tidak menarik audiensi yang
menyaksikan dengan demografi yang tepat,
ini biasanya berarti audiensi dengan pendapatan dan keinginan untuk membeli
produk sponsor acara program tersebut tidak mungkin bertahan.
Public
Relation (Vogel, 1994)
Segmentasi audiensi juga telah menjadi teknik yang
berguna dalam humas (public relations) meliputi penggunaan riset survei untuk
mengidentifikasi beberapa komponen audiensi yang berbeda.
1. Lawan
aktif yang menganggap topik itu penting namun tidak setuju dengan pesan anda.
2. Pendukung
aktif yang setuju dengan anda.
3. Lawan
yang tidak terpengaruh yang mempunyai sedikit minat dengan topik dan tidak
setuju dengan pendapat anda.
4. Pendukung
yang tidak terpengaruh yang mempunyai cukup minat untuk membeli pesan anda.
5. Mereka
yang berpotensi untuk berubah yang mempunyai minat tinggi terhadap topik namun
tidak mempunyai pendapat yang amntap tentang topik itu.
6. Tidak
terlibat yang tidak mempunyai pendapat yang mantap dan sedikit minat.
Vogel menunjukan bahwa hanya ada dua kelompok,
pendukung aktif dan mereka yang berpotensi untuk merubah merupakan calon yang bagus
untuk pesan-pesan anda. Hendaknya digunakan
strategi komunikasi yang berbeda untuk dua target audience tersebut. Pendukung
aktif perlu menerima pesan penguatan sehingga dukungan mereka tidak goyah,
merteka yang berpotensi untuk berubah perlu menerima pesan-pesan persuasif yang
di desain dengan
hati-hati dan mereka perlu menerima pesan-pesan itu lebih sering dari pada
pendukung aktif. Vogel juga menganjurkan agar kita menghadapi pendukung aktif
dengan sound bites yang cepat, penuh semangat dan pendek dengan harapan bahwa
mereka akan meneruskannya ke mereka yang berpotensi untuk berubah. Teknik ini
akan menjadi sengaja untuk memanfaatkan arus komunikasi dua langkah. Analisis semacam ini dapat
membantu klien hubungan masyarakat untuk mengkonsentrasikan upaya-upaya mereka
dimana pesan-pesan mereka kemungkinan dampak terbesar.
Social
Marketing (Frankenberge
dan sukhdial, 1994)
Segmentasi audiensi juga telah menjadi teknik yang
penting dalam pemasaran sosial (social
marketing), yakni penggunaannya teknik-teknik komunikasi untuk membantu
menyelesaikan dengan baik tujuan-tujuan sosial. Misalnya,
segmentasi audiensi telah di rekomendasikan sebagai teknik untuk mengahadapi masalah
pencegahan AIDS pada remaja. Remaja pada umunya beresiko terkena HIV, namun sub
kelompok minoritas miskin, rasial, dan etnis mempunyai resiko yang lebih besar.
Para peneliti menganjurkan agar kita mengarahkan
pesan-pesan spesifik yang tepat untuk kelompok itu. Misalnya, apabila sebuah
kelompok mempunyai persepsi
kekebalan, pesan-pesan hendaknya memberikan informasi tentang kasus-kasus AIDS
remaja. Media hendaknya juga dipilih yang paling tepat untuk masing-masing
kelompok.
Misalnya, jika remaja amerika keturunan afrika
menerima sebagian besar informasi mereka dari radio, maka pesan-pesan
disebarkan melalui radio input. Sedangkan dari kelompok ini juga mempunyai
resiko yang jauh lebih besar untuk terkena AIDS dibandiungklan dengan yang
lainnya dan barangklali hendaknya
menjadi obyek yang menerima kampanye yang lebih intensif.