Sabtu, 21 April 2012

Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi Antarbudaya
oleh: Eka Lasmawati (FIKOM)

A.  Definisi Komunikasi Antarbudaya
Budaya (culture) dapat disebut sebagai “komunitas makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal” (gonzalez, houston, dan chen, 2004).
Komunikasi antar budaya merujuk pada komunikasi antar individu-individu yang latar belakang budayanya berbeda.
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Intercultural communication, A reader menyatakan bahwa: komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial.
Samovar dengan porter menyatakan komunikasi antar budaya terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
Charley H. Dood menyatakan bahwa komunikasi antar budaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Komunikasi antar budaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interprelatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang kaarena memiliki perbedaan derajat kepentingan, memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentukperilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan ( Lustig dan Koester, 1993).
“Intercultural communication” yang disingkat “ICC” mengartikan komunikasi antar budaya sebagai interaksi antar pribadi, antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda.
Guo Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya, komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
·           Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antar budaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol,) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak dengan sendirinya mempunyai makna, tetapi dia dapat berarti dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan
·           Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi , sebuah keputusan dibuat untuk berpartissipasi dalam proses pemberian makana yang sama.
·           Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita
·           Menunjukan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakannya dari kelompok lain.
Setelah pengertian komunikasi antar budaya di atas dapat disimpulkan bahwa proses  komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.


B. Teori Komunikasi Antarbudaya
1)  Genderlect Styles Theory (Teori Gaya Genderlect)
Genderlect Style Theory merupakan bagian dari teori komunikasi antar budaya, dimana melihat perbedaan gaya berbicara antara laki-laki dengan perempuan di dalam realitas sosial.
Teori Genderlect Styles dikemukakan oleh Deborah Tannent. Seorang profesor linguistik yang terkemuka di Georgetown University di Washington DC, Amerika Serikat. Ia  mendeskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas,sementara laki-laki pada status dan kemandiriannya.
Menurut Deborah Tannen, teori ini menekankan berbagai cara di mana pria dan wanita berkomunikasi. Tannen melihat perbedaan-perbedaan dari linguistik dan bukan sudut pandang psikologis. Gaya yang berbeda dari komunikasi dapat dilihat sebagai dua dialek budaya yang berbeda daripada cara inferior atau superior berbicara.
Teori Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.
            Asumsi dari teori ini adalah adanya perbedaan gaya antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada status dan kemandiriannya.
Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:
·           Kecenderungan feminis vs maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan.
·           Perempuan berhasrat pada koneksi vs laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
·           Raport talk vs report talkPerbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, . Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut:
a.       Publik speaking vs private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan.
b.      Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan, khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.
c.       Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, bergumam sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu, sebagai upaya menjaga statusnya.
d.       Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
e.       Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya.

2)  Face Negotiation Theory (Teori Negosiasi Wajah)
Teori Negosiasi Wajah dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang berbeda.
Wajah mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain wajah merupakan gambaran yang diinginkan seseorang atau jati diri orang lain yang berasal dari seseorang dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun, melindungi dan mengancam wajah orang lain.
Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori ini memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey, pencetus teori ini berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.
Teori negosiasi wajah adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “wajah” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Wajah merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, wajah  telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.
Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada wajah dan  facework. Wajah merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Wajah juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina wajah dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri.
Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan wajah dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa wajah (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan wajah sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah “muka tebal”, “muka tembok”, jaim (jaga image), wajah cemberut, wajah kusut, dan lain sebagainya.
Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman wajah. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan wajah positif dan kebutuhan wajah negatif.  Wajah positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan wajah negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang.
Ketika wajah positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan wajah mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai  facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan wajah seseorang dan orang lainnya.
Asumsi dasar Teori Negosiasi Wajah  mencakup komponen-komponen penting dari teori ini yaitu wajah, konflik, dan budaya.
·           Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter seseorang.
·           Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak wajah sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang.
·           Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap wajah. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam wajah bersifat wajah positif maupun wajah negatif dari para partisipan.

3)  Anxiety Uncertainty Management Theory
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Asumsi dasar dari teori ini adalah dalam proses komunikasi, semakin tinggi ketidakpastian seseorang maka akan semakin rendah keberhasilan komunikasi yang hendak dilakukannya. Dengan bahasa yang lain, proses komunikasi dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian sehingga tujuan komunikasi tercapai. Gudykunst menggunakan konsep ’uncertainty’ untuk memprediksi perilaku orang lain dan konsep ’anxiety’ untuk menjelaskan proses penyesuaian budaya.


Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
·           Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
·           Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
·           Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
·           Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
·           Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
·           Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

saatnya berkomentar

LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER (SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL)

PERTEMUAN KEDUA SIMULASI DAN KOMUNIKASI DIGITAL  SMKN 1 CARIU Tahun Ajaran 2020/2021 "LOGIKA DAN ALGORITMA KOMPUTER"...