Komunikasi Politik
oleh: Eka Lasmawati (FIKOM)
A. Definisi Komunikasi Politik
Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The Politics of the Development Areas pada tahun 1960. Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam dalam setiap sistem politik. Menurutnya, komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan.
Dalam hal ini, Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif.
Ilmuwan komunikasi membahas komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi Rauf, 1993). Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun 1960, namun studi-studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan politik telah ada sejak lama. Misalnya: Studi propaganda pada perang dunia yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927, Studi tentang tingkah laku pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judul The People’s Choice: How the Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign, Studi perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change. Semua studi tersebut telah meletakan dasar-dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.
Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Definisi ini menggunakan pendekatan konflik.
Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesan berisi politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif). Definisi ini menggunakan pendekatan kekuasaan dan kelembagaan.
Untuk itu dapat disimpulkan definisi komunikasi politik adalah proses komunikasi yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
B. Teori Komunikasi Politik
1) Teori Propaganda
Propaganda adalah suatu penyebaran pesan yang terlebih dahulu telah direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerima/komunikan sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator.
Propaganda adalah model konseptual dalam ekonomi politik yang dikemukakan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky yang menyatakan bagaimana propaganda, termasuk bias sistemik, fungsi di media massa. Model ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana populasi dimanipulasi dan bagaimana persetujuan untuk kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang "diproduksi" di benak publik karena propaganda ini.
Herman dan Chomsky berpendapat bahwa cara di mana berita ini disusun (melalui iklan, kepemilikan media, pemerintah sourcing dan lainnya) menciptakan konflik kepentingan yang bertindak sebagai propaganda untuk pasukan yang tidak demokratis.
Teori Propaganda pertama dikemukakan tahun 1988 dalam buku Manufacturing Consent: Ekonomi Politik Media Massa , yang memandang "Propaganda" sebagai media swasta yang tertarik dalam bisnis penjualan produk - pembaca dan penonton - untuk bisnis lain (pengiklan) bukan dari kualitas berita untuk umum.
Propaganda digunakan oleh penguasa untuk mencari dukungan dari rakyatnya. Prestasi penguasa itu dipaparkan secara berlebihan sehingga muncul mitos dan berbagai kepercayaan di kalangan massa akan kehebatan dan keperkasaan para penguasa. Kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang berasal dari kitab-kitab peninggalan lama menunjukkan teknik propaganda telah lama dipakai dalam berbagai peradaban. Apabila citra penguasa sudah semakin kuat, maka penghormatan dan otoritasnya akan semakin menguat.
Asumsi dari Teori Propaganda yaitu bahwa anggota masyarakat tidak rasional dan berfokus pada simbolis dan aspek emosional komunikasi. Pendekatan untuk berkomunikasi mebangkitkan kemarahan publik dan bukan kepercayaan. Dalam teori propaganda, pejabat publik harus mengadopsi “model demokrasi”, yang mengasumsikan bahwa Audience adalah rasional dan intelektual mampu berarti berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
2) Teori Khalayak Kepala Batu (The Obstinate Audience Theory)
Teori Khalayak Kepala Batu adalah teori komunikasi politik yang mengkritik teori peluru. Teori komunikasi politik ini juga tidak percaya bahwa khalayak pasif serta dungu, tidak bisa melawan keperkasaan media.
Tokoh-tokoh dari teori ini adalah L.A. Richard (1936), Raymond Bauer (1964), Schramm dan Robert (1977).
Komunikasi adalah transaksi, di mana pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, lalu diterima ataupun ditolak melalui filter konseptual. Sementara itu, fokus pengamatannya, terutama ditujukan kepada komunikan (masyarakat) melalui pendekatan psikologi serta pendekatan sosiologi.
Teori ini juga didukung oleh model uses and gratification dari Elihu Katz, Jay G. Blumler & Michael Gurevitch (1974). Kedua tokoh ini mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang rasional, aktif, dinamis, dan selektif terhadap seluruh pengaruh yang berasal dari luar diri manusia. Dalam hal ini, aspek kegunaan dan kepuasan bagi diri pribadi menjadi bahan pertimbangan dalam pilihan khalayak.
Asumsi dasar dari teori komunikasi politik ini adalah masyarakat umum justru begitu berdaya dan tidak pasif sama sekali dalam proses komunikasi politik. Masyarakat pun mempunyai kekuatan menangkal dan menyerap semua terpaan pesan yang ditujukan kepada mereka.
3) Teori Empati dan Teori Homofili
Teori Empati dan Hemofili dikemukakan oleh Berlo (1960), Daniel Lerner (1978), Everet M. Rogers & F Shoemaker (1971). Teori ini beranggapan bahwa komunikasi politik akan berhasil jika sukses memproyeksikan diri ke dalam sudut pandang orang lain. Hal ini erat sekali hubungannya dengan citra diri si komunikator politik dalam menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran masyarakat. Teori komunikasi politik ini juga mengatakan bahwa komunikasi yang dibangun atas kesamaan (homofili) akan lebih lancar dan efektif daripada didasarkan oleh ketidaksamaan (derajat, usia, ras,agama, ideologi, visi dan misi, simbol politik, doktrin politik, dan lain-lain).
Aplikasi Teori ini yaitu dalam bentuk komunikasi interpersonal, hubungan kemanusiaan, persuasi atau bujukan, dsb.
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa komunikasi politik akan berhasil jika sukses menempatkan diri ke dalam sudut pandang orang lain dan dibangun atas kesamaan (hemofili) akan lebih lancar dan efektif daripada didasarkan pada ketidaksamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
saatnya berkomentar